back to top

Jumat, 14 Desember 2012

            Generasi muda dapat didefinisikan sebagai generasi penerus bagi suatu keberlangsungan dari generasi sebelumnya, generasi muda merupakan tulang punggung utama pengemban estafet dari proses keberlangsungan tersebut. Dengan adanya Sumpah Pemuda 1928 adalah awal pergerakan pemuda indonesia mengenai kepedulian terhadap nasib bangsa indonesia kedepan, dimana tujuannya adalah memperjuangkan terbentuknya Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia (NKRI), dengan semangat muda mereka mempersatukan bangsa indonesia menjadi satu dengan hasil Proklamasi Kemerdekaan  Indonesia  1945.
Namun beda zaman beda pula sikap pemuda terhadap kondisi bangsanya, saat ini pemuda indonesia terjebak dalam budaya apatis dan hedonis, pemuda yang masih memikirkan nasib bangsanya kedepan terus berkurang, seandainyapun banyak yang membicarakan kondisi bangsa ini lebih kepada kritikan dan keluhan kondisi bangsa saat ini tanpa mau memikirkan solusi dan tindakan kedepan.
Pemuda indonesia saat ini lebih senang menghabiskan waktu ditempat hiburan daripada sekedar membaca dan menelaah nasib bangsanya, pemuda-pemuda diperkotaan termasuk anak-anak para pejabat lebih senang menghambur-hamburkan uang mereka pada butik-butik ternama dalam dan luar negri, sementara disisi lain anak-anak dipelosok daerah mengalami kesulitan dalam mengakses ke fasilitas pendidikan dan kesehatan, seolah-olah pemuda perkotaan bukanlah satu bangsa dengan anak-anak dipelosok daerah, tidak ada ikatan kepedulian diantara mereka untuk membangun bersama masa depan bangsa ini.
Dengan kondisi seperti ini kita wajib mewaspadai bahwa Indonesia dimasa depan akan mengalami krisis kepemimpinan, ini dikarenakan bukan karena tidak ada orang yang mau memimpin tetapi karena Indonesia kehilangan pemimpin yang berkarakter pemimpin.
Dimasa depan Indonesia hanya menjadi negara yang rakyatnya adalah mantan-mantan anak manja yang menjadi dewasa, yang lebih cenderung bersikap konsumtif dibanding berwatak produktif. Mungkinkah anak-anak manja itu mampu menjadi pemimpin dinegri yang memiliki keberagaman  suku, bahasa dan pulau, sementara mereka sendiri terjebak dalam pragmatisme pribadi yang membuat mereka lebih rakus dibanding kapitalis.
Mungkin yang membaca tulisan ini akan bertanya seberapa pentingnya masalah seperti ini harus dibahas? Saya akan menjawabnya sangat penting, tidakkah anda melihat anak-anak penerus bangsa ini setiap hari dicekoki dengan budaya glamor nan apatis, semakin kehilangan kepeduliaannya terhadap kondisi bangsanya, jangan bilang ketika masyarakat bergemuruh saat tim garuda bermain itu nasionalisme, jangan bilang saat rakyat ramai ketika perbatasan kita diusik itu nasionalisme, jangan bilang ketika rakyat marah saat ada TKI yang disiksa itu nasionalisme, itu bukanlah nasionalisme tetapi barbarisme dan fanatisme buta.
Kenapa saya bisa bilang begitu, coba lihat saat tim garuda bermain, semua pendukung timnas mencemooh tim lawan, bukankah ini bentuk barbarisme, bukankah kita ini bangsa beradab, bukankah dalam kebudayaan kita tamu wajib hukumnya untuk dihormati.
Coba kita lihat juga saat kasus patok perbatasan kita bergeser, kita begitu marah terhadap negara tetangga tetapi kita lupa kenyataan bahwa ada kemungkinan patok tersebut bergeser karena warga perbatasan yang tidak puas menjadi Indonesia. Kita juga sangat marah saat TKI kita disiksa, memang sang majikan wajib diadili dan diberi hukuman yang setimpal tapi yang perlu diingat mereka bekerja terkadang tanpa kopetensi, buta akan prosedur hukum, dan juga lemahnya perlindungan negara.
Nasionalisme itu bukan rasa kepemilikan suatu bangsa yang ditunjukan dengan berkoar keras saat negri ini terganggu, tetapi memikirkan solusi masa depan agar negri ini tumbuh berkembang menyejahterakan rakyatnya serta mampu menghadapi gangguan-gangguan yang ada
Namun sekarang yang menjadi pertanyaan, siapa yang akan melakukan itu? Siapa yang akan memikirkan Indonesia dimasa depan, sementara kita pemuda indonesia hanya asik menghabiskan jatah kue pembangunan kita, tanpa memikirkan apakah saudara-saudara kita diujung papua sana menikmati kue pembangunan yang sama dengan yang kita nikmati, sampai kapankah kue pembangunan itu dapat kita nikmati, dan mampukah indonesia bertahan?
Pemuda indonesia memang masih mempunyai rasa memiliki negri ini tapi luntur sudah hingga kedasar rajutan rasa cintanya pada negri ini. Ketika saya mendengar isu separatisme, jujur bukan rasa marah saya yang muncul karena adanya gerakan makar, namun justru yang ada hanyalah rasa miris dan kasihan, apakah kita tidak pernah berpikir bahwa gerakan separatisme disuatu daerah muncul bukan hanya karena kekecewaan mereka terhadap pemerintah, tetapi juga kekecewaan mereka terhadap kita masyarakat didaerah lain yang seakan tdak peduli dengan nasib mereka. Mungkinkah separatisme itu akan muncul jika saja mereka mampu merasakan pembangunan seperti yang kita rasakan, memang manusia tidak ada puasnya, tetapi separatisme akan mati sendirinya jika tidak ada dukungan masyarakat lokal, dengan adanya dukungan masyarakat lokal membuktikan sakit hati yang mendalam masyarakat daerah tersebut terhadap masyarakat daerah lainnya.
Sama seperti kita yang mencintai, namun terus kita disakiti, bukankah lebih baik kita putuskan untuk tidak mencintai atau mencari sang penggati, itulah yang mereka rasakan. Mereka merasa tak pernah dianggap sebagai Indonesia, lain dimulut lain dihati, kita mengaku cinta pada mereka, Namun dengan gamblang menunjukan kemewahan kita didepan keterbatasan mereka, itulah yang terjadi sekarang.
Tidak ada cara lagi menyelamatkan keutuhan Indonesia dimasa depan, kecuali dengan menumbuhkan rasa kecintaan mereka terhadap Indonesia yang satu kesatuan tak terpecah oleh batas wilayah dan suku. Karena dengan hanya dengan menumbuhkan kembali rasa cinta itu maka akan muncul rasa pengabdian kepada negri ini, sehingga apapun profesinya dimanapun dia berada akan berusaha memajukan dan membesarkan bangsa Indonesia.
Yang perlu diperhatikan juga adalah content media yang saat ini justru terlihat menjauhkan kaum muda dari semangat cinta tanah air, dan cenderung menayangkan keglamouran hidup para selebritas maupun pejabat. Saya pernah bertanya kepada seorang anak SD siapa sajakah tokoh empat serangkai, dengan gelagapan mereka membolak-balikan buku mereka dan tidak bisa menjawabnya, sementara ketika ditanya siapa saja anggota boy band korea Super Junior mereka mampu menjawabnya dengan sangat lancar hafal diluar kepala bahkan hingga ketanggal lahirnya. Itu menjadi salah satu bukti bahwa media berhasil melunturkan rasa cinta tanah air kepada calon penerus bangsa, sementara orang tua gagal mengajarkan anaknya tentang cinta tanah air.
Selama rasa cinta tanah air dan persatua melekat pada hati setiap pemuda indonesia maka saya yakin seyakin-yakinnya tidak akan ada isu separatisme yang berkembang dinegri ini. Kita tidak bisa melarang bangsa lain untuk lebih maju daripada indonesia, namun kita yang harus memajukan dengan kerja keras sebagai suatu bangsa.
Satu pesan saya mengakhiri tulisan ini, seorang pemimpin adalah contoh bagi rakyatnya, namun seorang pemimpin juga cerminan dari rakyat yang dipimpinnya, karena pemimpin sekarang bukanlah nabi utusan langit, dia berkembang bersama rakyat yang kelak dipimpinnya. Maka jika cinta tanah air dan pengabdian diri kepada bangsa telah hilang dari hati rakyatnya, jangan berharap mendapatkan pemimpin yang mencintai tanah airnya dan mengabdi pada bangsanya.

0 komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya